Sabtu, 28 Mei 2016

Bulusaraung Antara Kata-Kata



 SEKITAR KITA- Diantara pegunungan bissu daeng yang mengisahkan legenda kera putih dari toakala berbatasan dengan pucuk bebataun mengingkari goa dan sela yang indah. Aku duduk diantara kata dan pangkuan kalimat yang membayangiku. 4 Pemuda yang berpadang ilmu dipinggir sungai maros, punya semangat mengikari bebatuan yang bermisteri dalam ambisi. 

 
Dokumentasi Bulusaraung 




Ini bukan soal kisah bissu daeng dan Raja Pattiro, yang dilakoni oleh cendikiawan seni untuk menghidupkannya lewat seni drama, tapi ini soal cerita 4 remaja yang membangun komunikasi dengan seekor anjing diselasa sore. Aku mengaku duduk diantara barisan kata-kata karena mereka bersamaku dalam setiap rimbun yang menyentuh daun, Sebelum Ashar doa kami panjatkan semata-mata karenaa ridhoNya dengan Menjama’ Duhur dan Azhar sebagai langkah awal untuk untuk melantungkan dan menikmati ciptaannya.

Dengan mengusap raut muka oleh telapak tangan pertanda akhir dari sujud, memulai petualangan diselasa sore, Awal melangkah salalu mengingat basmalah. Aku dan mereka menginjak gunung -gunung yang berbauh alam dan semerbak keindahaanya, kaki melangkah menjadi petualangan yang pasti merangkul kebersamaan walau situasi tak lurus dan mulus.’ 

Kita menaiki batu, mencakar tanah, menggelantungi ranting pohon dan menjadikan akar sebagai tangga pendakiaan. Satu persatu rumah kayu sebagai pertanda pos aku dan mereka lalui tak jarang seteguk air dari botol 3 liter kami habiskan hanya dalam 3 pos, semangat dan ambisi adalah kekuatan aku dan mereka , menjadi penakluk apa yang harus ditakluki. Sepanjang jalan mereka punya cerita, hura dan hara selalu saja mengusap keringat lesuh, membangunkan api yang mulai redup dan membakarnya keluar sebagai semangat. 



Tawa itu membuat aku dan mereka menjadi lupa dengan waktu , dan menghembus nafas seenak-enaaknya pertanda ada ruang untuk mendirikan kediaman untuk rehat sejenak. Tenda dengan ukuran tak kurang dari 5 orang menjadi tempat untuk menghabiskan malam yang gelap, sunyi menyimpan banyak cerita.

 Kompor dan gas dari kaleng menjadi sahabat untuk melahirkan api sebagai penghangat melawan dingin. Dengan sebungkus Mega Mie menjadi andalan kami guna mengisi perut untuk sementara waktu, tak lupa biskuit dan kue bolu yang dibawah oleh wadihul menjadi pelengkap santap malam kami. Tak terbayang malam ditubuh gunung bulusaraung hanya kami berempat menceritakan rencana dalam setiap gerak dan memikirkan cita dan arah dimasa depan. Sempat kami berpikir dibawah terlalu bising untuk merenungi nasib, semakin tinggi akan semakin sunyi, semakin tinggi akan bersama dengan angin, semakin tinggi akan terus bercerita pada sepi , semakin tinggi akan terus bercerita pada dingin dan mimpi-mimpi. 
Dokumentasi Bulusaraung


Senter dari lampu kamera dari gedget kami menjadi penerangan yang mandiri, digantung tepat dibalik atap tanpa flapon  agar menerangi seluruh tenda, tak selam lama kemudiaan satu komunitas yang punya tekad sama dengan kami  memberanikan diri untuk bergabung bersama ditempat perkemahan dintara  puncak dan tubuh bulusaraung. Dengan ditemani oleh embun dan bercikan air pertanda hujan akan datang tenda mereka pun dibangun, dengan perasaan risau yang kami miliki tadi telah berkurang ditelan kebersamaan.

Waktu semakin-lama semakin mengerutkan malam kami, Adnan seorang teman yang  penuh dengan filosofi memberanikan diri untuk berbicara meminjam gitar untuk kami bernyanyi, dengan petikan yang diwakili oleh wadihul membuat Adnan dan Aswan mendapat hari  yang tak mudah tersisih.  Melantungkan cerita lewat baik-baik yaang indah, tak jarang suara dan sentakan puisipun keluar dari bibir ini, menghabiskan malam dengan seni karena lelah mendaki itulah kenikmatan kebersamaan yang memeluk kami. Gemercik hujan berkakhir  dan dimulai lagi dengaan suara guntur pertanda hujan deras akan menghampiri, tak berselang lama  hal yang tak diharapkan pun datang menyambut kami, dengan mengandalkan jaket dan switer sebagai penghangat kami, sehingga menikmati malam yang dingin walau terasa di gigit.

Matapun mulai lelah walau dia tak berjalan melewati batu dan tanah yang kami daki, tapi mata tak pernah tertutup , terus mengantisipasi situasi yang akan terjadi, sehingga memaksakan kami untuk mengistirahatkannya untuk berdiam diri sejenak, agar mata lelah  membawa kami dalam mimpi.
Mala semaki malam, pertanda pagi pun sudah hadir dan mengundang fajar untuk datang menyambut hari besar kami. Dengan turun sekitar 100 meter ke bawah membuat semangat pagi dari kami muncul untuk mengusap sebuah air segar titipan Tuhan untuk gunang yang kami injaki.
Semangat dan kekuatan kami selalu menuju puncak yang kami ingin capai tak berselang duapuluh menit, dengan Izin Allah akhirnya kami berada di ketinggian tanah Buttasalewangan yang kami cintai.

Satu hal yang kami ingat , ketika kaki ini menduduki puncak. Bahwa Tuhan memang bukan seniman yang ,menciptakan segala macam karya seni, Tuhan memang bukan pendaki yang mampu menggali dan membentuk bebatuan yang seindah bumi, tapi Tuhan adalah zat yang melebihi segalanya, meciptakan segala sesuatu terbaik untuk hambanya, agar seluruh hambanya hidup dengan tentram dan mengabdi padanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar