SEKITAR KITA- Diantara pegunungan bissu daeng yang mengisahkan legenda
kera putih dari toakala berbatasan dengan pucuk bebataun mengingkari goa dan
sela yang indah. Aku duduk diantara kata dan pangkuan kalimat yang
membayangiku. 4 Pemuda yang berpadang ilmu dipinggir sungai maros, punya
semangat mengikari bebatuan yang bermisteri dalam ambisi.
Dokumentasi Bulusaraung
Ini bukan soal kisah bissu daeng dan Raja Pattiro, yang
dilakoni oleh cendikiawan seni untuk menghidupkannya lewat seni drama, tapi ini
soal cerita 4 remaja yang membangun komunikasi dengan seekor anjing diselasa
sore. Aku mengaku duduk diantara barisan kata-kata karena mereka bersamaku
dalam setiap rimbun yang menyentuh daun, Sebelum Ashar doa kami panjatkan
semata-mata karenaa ridhoNya dengan Menjama’ Duhur dan Azhar sebagai langkah
awal untuk untuk melantungkan dan menikmati ciptaannya.
Dengan mengusap raut muka oleh telapak tangan pertanda akhir
dari sujud, memulai petualangan diselasa sore, Awal melangkah salalu mengingat
basmalah. Aku dan mereka menginjak gunung -gunung yang berbauh alam dan
semerbak keindahaanya, kaki melangkah menjadi petualangan yang pasti merangkul
kebersamaan walau situasi tak lurus dan mulus.’
Kita menaiki batu, mencakar tanah, menggelantungi ranting
pohon dan menjadikan akar sebagai tangga pendakiaan. Satu persatu rumah kayu
sebagai pertanda pos aku dan mereka lalui tak jarang seteguk air dari botol 3
liter kami habiskan hanya dalam 3 pos, semangat dan ambisi adalah kekuatan aku
dan mereka , menjadi penakluk apa yang harus ditakluki. Sepanjang jalan mereka
punya cerita, hura dan hara selalu saja mengusap keringat lesuh, membangunkan
api yang mulai redup dan membakarnya keluar sebagai semangat.
Tawa itu membuat aku dan mereka menjadi lupa dengan waktu , dan menghembus nafas seenak-enaaknya pertanda ada ruang untuk mendirikan kediaman untuk rehat sejenak. Tenda dengan ukuran tak kurang dari 5 orang menjadi tempat untuk menghabiskan malam yang gelap, sunyi menyimpan banyak cerita.
Kompor dan gas dari kaleng menjadi sahabat untuk melahirkan api sebagai penghangat melawan dingin. Dengan sebungkus Mega Mie menjadi andalan kami guna mengisi perut untuk sementara waktu, tak lupa biskuit dan kue bolu yang dibawah oleh wadihul menjadi pelengkap santap malam kami. Tak terbayang malam ditubuh gunung bulusaraung hanya kami berempat menceritakan rencana dalam setiap gerak dan memikirkan cita dan arah dimasa depan. Sempat kami berpikir dibawah terlalu bising untuk merenungi nasib, semakin tinggi akan semakin sunyi, semakin tinggi akan bersama dengan angin, semakin tinggi akan terus bercerita pada sepi , semakin tinggi akan terus bercerita pada dingin dan mimpi-mimpi.
Dokumentasi Bulusaraung
Senter dari lampu kamera dari gedget kami menjadi penerangan
yang mandiri, digantung tepat dibalik atap tanpa flapon agar menerangi seluruh tenda, tak selam lama
kemudiaan satu komunitas yang punya tekad sama dengan kami memberanikan diri untuk bergabung bersama
ditempat perkemahan dintara puncak dan
tubuh bulusaraung. Dengan ditemani oleh embun dan bercikan air pertanda hujan
akan datang tenda mereka pun dibangun, dengan perasaan risau yang kami miliki
tadi telah berkurang ditelan kebersamaan.
Waktu semakin-lama semakin mengerutkan malam kami, Adnan
seorang teman yang penuh dengan filosofi
memberanikan diri untuk berbicara meminjam gitar untuk kami bernyanyi, dengan
petikan yang diwakili oleh wadihul membuat Adnan dan Aswan mendapat hari yang tak mudah tersisih. Melantungkan cerita lewat baik-baik yaang
indah, tak jarang suara dan sentakan puisipun keluar dari bibir ini,
menghabiskan malam dengan seni karena lelah mendaki itulah kenikmatan
kebersamaan yang memeluk kami. Gemercik hujan berkakhir dan dimulai lagi dengaan suara guntur
pertanda hujan deras akan menghampiri, tak berselang lama hal yang tak diharapkan pun datang menyambut kami,
dengan mengandalkan jaket dan switer sebagai penghangat kami, sehingga
menikmati malam yang dingin walau terasa di gigit.
Matapun mulai lelah walau dia tak berjalan melewati batu dan
tanah yang kami daki, tapi mata tak pernah tertutup , terus mengantisipasi situasi
yang akan terjadi, sehingga memaksakan kami untuk mengistirahatkannya untuk
berdiam diri sejenak, agar mata lelah membawa
kami dalam mimpi.
Mala semaki malam, pertanda pagi pun sudah hadir dan
mengundang fajar untuk datang menyambut hari besar kami. Dengan turun sekitar
100 meter ke bawah membuat semangat pagi dari kami muncul untuk mengusap sebuah
air segar titipan Tuhan untuk gunang yang kami injaki.
Semangat dan kekuatan kami selalu menuju puncak yang kami
ingin capai tak berselang duapuluh menit, dengan Izin Allah akhirnya kami
berada di ketinggian tanah Buttasalewangan yang kami cintai.
Satu hal yang kami ingat , ketika kaki ini menduduki puncak.
Bahwa Tuhan memang bukan seniman yang ,menciptakan segala macam karya seni,
Tuhan memang bukan pendaki yang mampu menggali dan membentuk bebatuan yang
seindah bumi, tapi Tuhan adalah zat yang melebihi segalanya, meciptakan segala
sesuatu terbaik untuk hambanya, agar seluruh hambanya hidup dengan tentram dan
mengabdi padanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar